Senin, 28 Januari 2013

TEMPIAS LUTUNG KEMBAR



Dari kecil ayah telah pergi meninggalkan kami, sebuah keluarga kecil sederhana yang hidup bersama dengan keadaan yang apa adanya. Lika liku kehidupan kami lalui bersama, walaupun terasa berat tetapi dengan sentuhan kasih sayang seorang ibu kami mampu melewatinya. Ayah meninggal ketika mengikuti perang pembebasan irian barat. Takdir ini sangat menyakitkan bagi keluarga seorang prajurit yang hanya berpangkat PELDA.
Ayah meninggal tanpa sedikitpun meninggalkan harta benda yang bisa kami gunakan untuk menyambung hidup, melainkan hanya nasehat-nasehat moral yang selalu ia tanamkan kepada aku dan adikku agam. Semenjak ayah meninggal, ibu selalu berpesan kepadaku untuk selalu menjaga adikku, kemanapun aku pergi pasti adikku selalu akan aku bawak, sampai-sampai tetangga memanggil kami dengan sebutan “lutung kembar”. Sebutan ini tidak tabu lagi ditelingaku, aku anggap ini adalah panggilan sayang tetangga kepada aku dan adikku yang sesuai dengan karakter aku dan adikku. Ya memang warna kulitku dan agam sedikit hitam legam, mungkin mewarisi dari ayahku yang orang bilang warna kulit nya hampir sama dengan orang negro, entah apapun yang disebutkan oleh orang-orang yang jelas ayah tetap orang nomor satu dalam hidupku.
                Di ulegle, vidi jaya, Aceh, aku dan adikku dibesarkan. dengan kerja keras seorang Ibu yang berkerja serabutan dan tidak menentu. kadang ia harus sebagai buruh cuci, dan kadang ditengah-tengah kesibukan nya ia harus mengejar waktu nya untuk mengurusi ladang kecil miliknya di kaki gunung. Garis raut muka ibu yang semakin keras dan tegas menunjukkan kalau kondisi tubuh nya yang mulai rentah dan tua ditelan zaman. Tapi dengan modal semangat dan titah Allah, apapun ia lakukan demi  membesarkan anak-anak nya agar menjadi manusia yang lebih dipandang orang lain.
20 tahun berlalu, ibupun telah pergi mengahadap sang khalik tepat aku berumur 28 tahun dan adikku berumur 25 tahun. Tubuh gempal rentah itu akhirnya harus menyerah kepada waktu. Dengan semangat nya yang tidak pernah padam ia mampu membentuk kami anak-anak nya untuk mempunyai jati diri dan harga diri agar lebih dipandang oleh orang lain.
Kini lutung kembar tinggalah kenangan, adikku pergi merantau ke tanah jawa untuk menyambung hidup. Sementara aku berhasil mengikuti jejak ayahku untuk menjadi seorang prajurit. Waktu terus berjalan, aku telah melanggar perintah ibu untuk selalu menjaga agam adikku. Tapi ini adalah tuntutan yang mau tidak mau harus dilalui. 5 tahun berjalan, aku tidak tau dimana sekarang keberadaan adikku, semenjak ia membulatkan tekat untuk merantau 5 tahun yang lalu, sampai dengan saat ini aku tidak mengetahui kabar tentang dirinya. Hanya selembar foto yang diabadikan aku dan adikku sebelum kami harus berpisah.
Aku tinggal bersama istriku dirumah bedeng kecil yang diberikan negara kepada prajurit berpangkat rendah sepertiku. Semua lika liku kecemesan hidupku selalu ku ceritakan kepada istriku, termasuk kecemasan diriku akan keberadaan adikku.
Kecemasan itupun terjawab, suatu hari aku di panggil dan ditegur dengan keras oleh Dandim. Baru selangkah aku memasuki ruangan Dandim, hardikan keras menghujam batinku
“Penghianat bangsa....!!”
“kau seharusnya memang layak untuk dibunuh...!!!”
Aku terperangah setelah teriakan keras itu diarahkan kepadaku.
Beberapa detik aku terdiam dan menghela nafas mencoba untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
belum terlontar satu katapun dari mulutku, selembar foto dilemparkan kepada aku.
                Dan ternyata itu foto aku dan adikku agam.
Darahku berdesir, jantungku berdebar kencang tidak seirama dengan nafasku yang memburu.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi ?”
“adik mu adalah anggota GAM !! dan sekarang sudah ditahan...!”
Dan akhirnya hari ini kecemasanku selama ini terjawab, tubuhku bergertar dengan hebat. Aku tak tau lagi apa yang harus aku lakukan selain hanya diam dan mematung.
“ hanya ada dua pilihan yang harus kau lakukan esok hari karena kau sekarang telah dianggap sebagai penghianat, pertama kau dan keluargamu akan kami bunuh atau kau yang membunuh adikmu dengan tanganmu sendiri....!!”
Air mataku mengalir dengan perlahan dan jatuh membasahi pipiku.
“besok pagi tepat pukul 06.00, aku tunggu kau dikaki gunung. Malam ini kau pikirkan apa yang menjadi keputusanmu besok pagi...”
Dengan langkah tertatih aku meninggalkan ruangan itu bersama pikiran yang berkecamuk dikepalaku untuk kembali kerumah, berharap istri adalah orang yang tepat untuk menceritakan ini semua.
“Agam tertangkap..”  suaraku yang seketika mebekukan senyuman istriku ketika menyambutku dimuka pintu.
“terus apa yang diinginkan pimpinanmu...” selah istriku dengan wajah cemasnya.
“aku harus membunuhnya atau kita yang akan dibunuh karena dianggap penghianat”
Semua terdiam dan tidak memberikan keputusan apa yang akan diambil. Aku lebih memilih untuk menyendiri diserambi rumah. Masih terngiang rasanya amanah dari mendiang ibu dan ayahku untuk mengambil keputusan esok hari. Namun terlepas dari itu semua aku harus bisa mengambil keputusan.
Mataharipun mulai menerangi keremangan subuh ini, dan aku harus berada dikaki gunung tepat pukul 06.00 wib. Dan tidak ada toleransi ketika aku terlambat.
Keputusanpun sudah aku ambil dan sudah bulat didalam batinku, meskipun ini berat tapi harus aku lakukan. Sesampai dikaki gunung semua sudah berkumpul dengan senjata laras panjang yang telah siap dilepaskan timah panasnya. Dan adikku yang telah siap menjadi sasaran empuk timah panas itu.
“aku sudah siap dengan keputusanku dan semua resiko yang akan aku hadapi..”
“baik apa keputusanmu..” dengan nada lantang dandimku bertanya.
Dengan langkah gemetar aku mengambil senjata laras panjang yang sudah siap untuk diarahkan ke adikku. Dengan isyarat menganggukkan kepala pimpinanku menyetujui langkahku.
Mataku mulai tertuju kearah adikku yang sudah siap menerimah timah panasku, dengan kondisi kepala yang ditutup kain hitam dan terikat pada satu tiang.
Ancang-ancangpun aku ambil, ujung senapan sudah mengarah tepat di dada kiri adik kandungku sendiri. Masih terngiang-ngiang semua amanah ibu dan ayahku ditelinga. Aku sudah menghancurkan kepercayaan ayah dan ibuku.
“maaf ayah...maaf ibu, aku tidak bisa menjaga agam..”
Air mataku jatuh seiring dengan dentuman senjata dan lesatan timah panas yang tepat menghujam dada kiri agam. Sekitika sosok tubuh didepanku tergolek lemah dan menyerah pada tali yang mengikatnya.
Semua sirna dalam waktu sekejab.
Canda tawa, tangisan, kebahagiaan, semangat menantang hidup dan Luntung kembar seketika lenyap bersama kebengisan hidup,

“maafkan aku adikku....”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar