Minggu, 18 Maret 2012

Indonesia kembali menangis dibalik topengnya


Pernahkah kamu mendengar teori turbulensi ?

”bahwa kepak sayap kupu-kupu di belahan bumi timur dapat menyebabkan badai di belahan bumi barat”.
          Sekilas teori ini memang lucu, siapapun yang membaca teori ini pasti akan membuat kulit dahinya berkerut dan menimbulkan tanda tanya besar didalam kepalanya. Sehingga efek sampingnya membuat orang berfikir seolah-olah ilmuan yang menciptakan teori ini adalah seorang pelawak yang sedang berusaha mengeluarkan kata-kata jenakanya demi menghibur penontonnya.
Tapi jika kita selami lebih dalam, secara tidak kita sadari sekarang ilmuan itu telah membuktikan kata-katanya di negara kita. Teori ini memiliki arti “bahwa alam semesta ini semuanya saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain”. Makna dari teori ini memang tidak dapat untuk kita pungkiri, rasanya mimpi buruk itu masih membekas dihati masyarakat indonesia. Walau 6 tahun telah berlalu, diiringi dengan pergulatan hidup yang luar biasa. Tetapi bayangan ombak raksasa dan jerit tangis umat manusia tetap mengahantui masyarakat Indonesia.
Aceh, 26 Desember 2004. Gempa dengan kekuatan 8,1 sekala Richter versi United States Geological Survey (USGS) dan 6.6 skla Richter versi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Indonesia mengguncang negeri serambi mekah itu. Dalam waktu 15 menit sebanyak 230.000 nyawa hilang seketika. Pesona kota calang yang terkenal dengan keindahan pantainya dalam sekejab berubah menjadi dataran tanpa ada satu bangunanpun yang berdiri. Hari itu suasana mencekam menyelimuti aceh dan hawa kematian berterbangan seolah menjalankan titah tuhan.
Bencana ini merupakan kado yang sangat sepesial diawal pemerintahan susilo bambang yudoyono. Dengan gaya kepemimpinan yang berwibawa dan tegas, sang presiden dengan cepat memerintahkan TNI AL untuk segera mengirimkan bantuan ke Aceh menggunakan kapal perang bekas armada Jerman Timur jenis Landing Ship Tank dengan panjang kapal 91 meter dan berbobot 1900 ton. Dahulu pada zaman pemerintahan Bj. Habibie, kapal ini pernah menjadi kisruh yang sempat memanas. Karena kontrak pembelian 39 kapal perang bekas armada Jerman Timur itu membengkak dari 760 juta dolar AS menjadi 1,1 miliar dolar AS. Kisruh ini nyaris menimbulkan keretakan antara Habibie, DPR RI, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Departemen Keuangan, dan Angkatan Laut. Dan, hei, lihatlah. Sekarang kapal yang diributkan itu digunakan, seolah-olah kapal ini lahir dengan suci tanpa dosa sedikitpun.
Hari pertama di tahun 2005, bantuan itu baru merapat di perarian meulaboh setelah lima malam berlayar dari Jakarta. Proses penurunan bantuan agak terhambat, karena kapal tidak bisa merapat ke dermaga yang telah rusak dihantam air petaka itu. Bantuan telah tersusun rapi di posko relawan, namun bantuan tidak juga segera dibagikan. Ternyata para relawan yang berseragam loreng itu sedang menanti satu kapal lagi yang mengangkut barang dari “Cikeas”. Entah siapa yang membuat aturan bahwa bantuan dari Cikeas harus dibagikan terlebih dulu sebelum bantuan-bantuan dari lembaga lain.
Berjam-jam bantuan itu belum juga dibagikan. Tiba-tiba Helikopter Black Hawk milik amerika serikat melesat bebas di udara. Sesekali, meraka menjatuhkan kardus-kardus yang segera diperebutkan oleh para pengungsi dibawahnya. Beberapa kameramen luar negeri terlihat menumpang di dalam helikopter yang mempunyai potensi bisa membahayakan citra pemerintahan Indonesia di luar negeri.
PBB tidak ingin tinggal diam menanggapi bencana tsunami ini. Tepat tanggal 6 Januari 2005 di Jakarta mengadakan KTT (Konfrensi Tingkat Tinggi) yang membahas mengenai Tsunami. KTT ini dihadiri banyak pemimpin-pemimpin dunia, seperti Menlu Amerika Serikat Colin Powell, Sekjen PBB Kofi Annan dan lain-lain untuk membahas dampak dan menolong korban tsunami samudra hindia. Walau demikian Indonesia tetap Indonesia, meskipun konfrensi yang dilaksanakan tingkat super tinggi pun tetap saja korban bencana semakin menderita dari hari ke hari.  
          Enam tahun berlalu. Aceh perlahan mulai membenahi daerahnya. Indonesiapun terus menuai bencana. Peristiwa-peristiwa lain berdatangan seolah seperti rangkaian rantai yang saling terkait satu sama lainnya. Belum habis rasanya duka yang kita alami dari bencana tsunami Aceh. Mungkin tuhan masih belum puas untuk menguji bangsa kita. Gempa bumi sibolga dan pulau nias, gempa bumi tasikmalaya, Gempa bumi yogya dan lumpur lapindo, Serta teror dan ledakan bom pun turut serta menghiasi kesedihan Indonesia. Sungguh suatu ironi, bahwa di saat-saat negara kita sedang merangkak untuk maju dan berusaha untuk mengaum lagi di asia, Indonesia justru memperlihatkan gejala-gejala perpecahan.
Sekarang saatnya ilmuan pelawak itu kembali membuktikan teorinya. bahwa alam semesta ini semuanya saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Tsunami aceh memang sudah berlalu, dan dengan cepat pula pemerintah kita mulai melupakan peristiwa yang menjadi catatan hitam bagi bangsa kita. Pemerintah hanya sibuk dengan urusan mempertebal kantong celana. Istilah ”aji mumpung” sekarang lagi tren di pemerintahan kita. Sehingga masyarakat yang seharusnya adalah objek sekarang menjadi subjek.
Di tengah pergelutan dunia pemerintahan, Indonesia lagi-lagi dikejutkan oleh amukan alam. Warior, mentawai, dan sleman kembali menangis. Ratusan nyawa manjadi korban. dan untuk kesekiankalinya indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Tentunya kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para calo bencana, semua bergegas untuk untuk mencari hidup ditengah ladang kematian.
26 Oktober 2010, tsunami kembali memporak porandakan mentawai. 80 persen bangunan di mentawai rubuh di landa tsunami. Hingga saat ini menurut berita yang dilansir korban mentawai terus berjatuhan, tidak kurang dari 350 orang dinyatakan tewas, belum termasuk sekitar 400 orang raib dan 160 orang luka-luka akibat dari sapuan tsunami yang mengahantam pulau kecil itu. Bencana ini murni kesalahan BMKG (Badan Meteorolgi, Klimatologi, dan Geofisika), karena 12 jam sebelum bencana ini terjadi BMKG telah mencabut pernyataannya bahwa akan terjadi gempa dengan kekuatan 7,2 SR di daerah Sumatra Barat. Tetapi dengan alasan kelasik BMKG menyatakan kalau mereka lupa apabila di perairan Sumatra Barat itu ada pulau mentawai. Permohonan maaf memang sangat mudah terlontar dari mulut, tetapi kesedihan yang mendalam membuat masyrakat mentawai sangat sulit untuk menerima kenyataan ini.
Seperti biasa, pendistribusian bantuan selalu tidak merata. Desa tirik adalah salah satu desa yang terlambat menerima bantuan, untuk bertahan hidup warga mengandalkan keladi dan pisang liar. Itupun sulit dicari. Untuk selingan, mereka biasa menggerogoti rebung alias bambu muda. Agar pengungsi tidak makan bambu yang tua karena stok bambu muda sudah habis, dengan segera pemerintah mengantarkan bantuan ke desa itu. Selama kurang lebih 2 jam pemerintah baru sampai di desa itu dengan menggunakan sampan dan bersusah payah menghajar ombak-ombak untuk sampai ditujuan.
Ditengah tanggap darurat bencana dan ditengah jerit tangis warga mentawai, sang gubernur dengan langkah gontai meninggalkan negri yang ia pimpin untuk bertolak ke Jerman demi mengikuti acara promosi investasi provinsinya. Dengan nada santai Anggota Staff Hubungan Masyarakat Gubernur Sumatra Barat selaku juru bicara gubernur mengatakan, “yang bertanggung jawab penanggulangan tsunami ini adalah wakil gubernur, sedangkan pak gubernur hanya sebagai pengarah”. Entah apa yang ada di benak sang gubernur, yang dengan tegah meninggalkan provinsinya yang sedang ditimpa musibah. Bukan hanya gubernur yang melakukan hal seperti itu, anggota Badan Kehormatan DPR RI pun di tengah hiruk pikuk bencana yang melanda Idonesia, mereka melakukan kunjungan kerja ke yunani dan menghabiskan dana sebesar 2,3 Miliar. Mungkin sang gubernur dan DPR RI harus banyak belajar dengan Barack Obama Presiden Amerika Serikat, yang menunda kunjungannya ke Jakarta karena terjadi ledakan kilang minyak di Teluk Meksiko.
Tepat pada tanggal yang sama 26 oktober 2010, gunung merapi di sleman meletus. Hingga sekarang merapi semakin ganas dan menjadi-jadi. Rentetan bencana yang menimpah di Indonsia pada bulan oktober ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas menetapkan anggaran untuk pengolahan bencana di Indonesia pada APBNP di tahun 2011, meskipun untuk sekarang rekonstruksi sekitar merapi diserahkan ke daerah dulu. Walau demikian tindakan ini dilakukan setelah Wasior, Merapi, dan Mentawai terjadi. Setelah peristiwa-peristiwa ini terjadi barulah diketahui bahwa hanya 171 daerah dari 530 kabupaten/kota pada 33 provinsi yang telah membentuk wadah penanggulangan bencana. Artinya, konsolidasi program BNPB tidak jelas. Ironisnya, pada setiap pemilu kada, banyak sosok berlomba memasuki kompetisi.
Aspek perlindungan warga negara terhadap bencana oleh negara yang dilaksanakan pemerintah tidak tertangani dengan baik dan benar. Hanya segelintir tokoh nasional yang tulus dalam mengabdi untuk rakyat, malah dibelah bahwa pernyataan itu jangan-jangan hanya dipolitisasi. Lalu amankah kita sebagai rakyat di negara pancasila ini ? Agaknya dari bencana demi bencana, silih berganti hanya menyisakan derita berkepanjangan yang pada akhirnya untuk dilupakan.
Inilah negeri kita, yang selalu berceloteh tentang kehidupan yang tak akan kunjung usai.