Oleh
: Ahmad Fikri Aiman
dengan
detak jantung yang berdegub kencang dan tidak seirama degan nafasku, aku
tersentak dari tidurku. Mataku langsung tertuju kearah jam dinding, kulihat jam
masih menunjukan pukul 03.30 Wib. dengan reflek otak kananku memerintahkan
untuk mengambil jala dan bersiap untuk mencari sesuap nasi dilautan lepas.
langkahku kembali terhenti didepan pintu rumah. hujan kembali menghapus
rezekiku hari ini, semangat yang tadi membara dengan hitungan detik membeku dan
mencair melebur bersama lamunanku. kuletakkan jala di samping kursi serambi
rumahku, kusandarkan tubuhku yang mulai rapuh digilas roda dunia yang bengis
ini.
pikiranku
mulai melayang bersama rintikan hujan dan remang lampu serambi rumahku, hanya
satu kalimat yang terlintas dalam benakku " apa yang bisa aku dan
keluargaku makan hari ini ?", beras yang ku pinjam dari warung bawah
sekarang telah mengering, telah satu minggu jalaku tidak basah oleh air laut.
apa yang harus aku jawab ketika istri dan anak semata wayangku bagun dari
tidurnya dan menanyakan "makan apa kita hari ini yah ?". ya tuhan apa
sebenarnya yang kau rencanakan dibalik semua ini.
Kreat....kreot...!
rumahku
kembali bernyanyi mengiringi lamunanku, dulu ibuku pernah bercerita kalau bunyi
itu adalah suara khas dari rumah panggung yang terbuat dari kayu ketika
diterpah oleh angin, sehingga telingaku tidak tabu lagi ketika mendengar
nyanyian dari rumahku. hampir sepuluh tahun aku berkeluarga dan tinggal di
rumah ini semenjak ibuku dipanggil sang khalik. ayahku telah lama wafat,
beliau wafat dibakar hidup-hidup oleh warga kampung di lereng bukit ini. waktu
itu aku masih berumur 5 tahun, aku tdak mengerti apa-apa ketika masyarakat dan
beberapa orang bertubuh kekar berseragam loreng menyeret tubuh rentah ayahku
dengan keji. ibu tidak bisa berbuat apa-apa, beliau hanya memeluk erat tubuh
mungilku dengan air mata yang berlinang dan bibir yang bergetar seoalah menahan
sesak di dada yang sangat luar biasa. kata-kata ibu yang masih aku ingat saat
itu adalah " buku bersampul coklat itu ada
di sumur belakang rumah nak, ayah mu di fitnah, bukan ayahmu yang menguburkan
buku itu !" .
semenjak kejadian itu aku
selalu dipanggil dengan sebutan "PKI", aku tidak mengerti apa
sebenarnya isi dari buku bersampul coklat itu sehingga aku selalu di pangil PKI
oleh warga kampung. tiga tahun berlalu semenjak kematian ayahku. aku menjadi
anak yatim dengan seorang ibu tua yang berusaha membesarkan dan menghidupkanku.
kebenaranpun terungkap, hari itu guru SD di samping rumahku bersujud dihadapan
ibuku dan mengaku bahwa dia adalah "antek PKI" dan dialah sebenarnya
yang menguburkan buku itu di sumur belakang rumahku. dengan mata yang
berkaca-kaca, ibu berlari menuju rumah kepala desa dan mengungkapkan semua ini.
hingga pada akhirmya kepala sang guru SD itu menjadi bayarannya. semua
telah berlalu, ayah dan ibu telah tenang di alam sana tapi semua kenangan ini
tidak akan bisa terlupakan olehku.
Kreat...kreot...!
suara
itu menghancurkan lamunanku. ku lihat jam menunjukan pukul 06.30 wib, hujan
masih turun dengan keangkuhannya. aku berjalan ke arah kamar dan melihat dua
sosok tubuh manusia masih tertidur pulas. perlahan aku mendekatkan tanganku
kearah dahi anakku, ternyata masih terasa panas. sudah hampir 3 hari anakku sakit,
tapi hanya pil bodrek yang bisa aku berikan. kocekku tidak akan mampu untuk
membawa anakku ke puskesmas.
kembali aku berjalan
menuju serambi rumahku untuk mengecek apakah warung bawah suda buka atau belum,
berniat untuk kembali meminjam beras beberapa genggam.
kepalaku sedikit
mendongak ke arah bawah, sepertinya lampu serambi dari warung itu telah
dipadamkan. biasanya itu tanda kalau warung itu telah buka.
Kreat...kreot..!
suara
nyanyian rumahku kembali terdengar ketika aku hendak merapatkan pintu rumah,
tapi kali ini suara itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya.meskipun hujan
dengan tertatih-tatih aku menyusuri pinggiran bukit yang licin untuk
menuju ke arah warung yang berada di kaki bukit ini. jarak warung itu tidak
jauh dari rumah hanya sekitar 500 meter.
" mau minjam lagi pak", suara itu bagai
tamparan yang melayang ke mukaku ketika ku hendak melangkahkan kaki masuk ke
warung.
dengan
gugup aku menjawab "i..i..iya bu, hanya dua genggam
beras. besok setelah hujan tidak turun lagi dan aku kembali melaut, pasti aku
akan membayar semua hutangku".
"liat dulu perahumu itu, jangan-jangan sudah lapuk di guyur
hujan terus"
"iya bu, setelah ini saya mau cek perahu" sambil menerima dua
genggam beras dari tangan ibu penjaga warung yang berbadan gempal ini.
tiba-tiba
suara gemuruh terdengar jelas dari arah rumahku diatas bukit itu. kali ini aku
yakin bukan nyanyian rumahku lagi. sepertinya ini nyanyian dari semua rumah
yang berada di atas bukit itu. sebuah bongkahan tanah besar menggulung habis
rumah-rumah yang berada di atas bukit itu dan meratakan nya dengan tanah. semua
rumah di sana bernyanyi bersama tanah yang menenggelamkan mereka. satu demi
satu rumah hancur berkeping-keping di telan tanah yang longsor dari atas
bukit itu. dalam sekejap semua nyanyian rumah hening. dalam sekejap semua
kenangan tenggelam, dalam sekejap istri dan anakku tertidur lelap untuk
selamanya.
dan hari ini pertanyaan
yang aku takuti berakhir. "makan apa kita hari ini yah ?"