Senin, 21 Mei 2012

Nyanyian Rumah Bukit



Oleh : Ahmad Fikri Aiman


dengan detak jantung yang berdegub kencang dan tidak seirama degan nafasku, aku tersentak dari tidurku. Mataku langsung tertuju kearah jam dinding, kulihat jam masih menunjukan pukul 03.30 Wib. dengan reflek otak kananku memerintahkan untuk mengambil jala dan bersiap untuk mencari sesuap nasi dilautan lepas. langkahku kembali terhenti didepan pintu rumah. hujan kembali menghapus rezekiku hari ini, semangat yang tadi membara dengan hitungan detik membeku dan mencair melebur bersama lamunanku. kuletakkan jala di samping kursi serambi rumahku, kusandarkan tubuhku yang mulai rapuh digilas roda dunia yang bengis ini.

pikiranku mulai melayang bersama rintikan hujan dan remang lampu serambi rumahku, hanya satu kalimat yang terlintas dalam benakku " apa yang bisa aku dan keluargaku makan hari ini ?", beras yang ku pinjam dari warung bawah sekarang telah mengering, telah satu minggu jalaku tidak basah oleh air laut. apa yang harus aku jawab ketika istri dan anak semata wayangku bagun dari tidurnya dan menanyakan "makan apa kita hari ini yah ?". ya tuhan apa sebenarnya yang kau rencanakan dibalik semua ini.

Kreat....kreot...!


rumahku kembali bernyanyi mengiringi lamunanku, dulu ibuku pernah bercerita kalau bunyi itu adalah suara khas dari rumah panggung yang terbuat dari kayu ketika diterpah oleh angin, sehingga telingaku tidak tabu lagi ketika mendengar nyanyian dari rumahku. hampir sepuluh tahun aku berkeluarga dan tinggal di rumah ini semenjak ibuku dipanggil sang khalik. ayahku telah lama wafat, beliau wafat dibakar hidup-hidup oleh warga kampung di lereng bukit ini. waktu itu aku masih berumur 5 tahun, aku tdak mengerti apa-apa ketika masyarakat dan beberapa orang bertubuh kekar berseragam loreng menyeret tubuh rentah ayahku dengan keji. ibu tidak bisa berbuat apa-apa, beliau hanya memeluk erat tubuh mungilku dengan air mata yang berlinang dan bibir yang bergetar seoalah menahan sesak di dada yang sangat luar biasa. kata-kata ibu yang masih aku ingat saat itu adalah " buku bersampul coklat itu ada di sumur belakang rumah nak, ayah mu di fitnah, bukan ayahmu yang menguburkan buku itu !" . 


          semenjak kejadian itu aku selalu dipanggil dengan sebutan "PKI", aku tidak mengerti apa sebenarnya isi dari buku bersampul coklat itu sehingga aku selalu di pangil PKI oleh warga kampung. tiga tahun berlalu semenjak kematian ayahku. aku menjadi anak yatim dengan seorang ibu tua yang berusaha membesarkan dan menghidupkanku. kebenaranpun terungkap, hari itu guru SD di samping rumahku bersujud dihadapan ibuku dan mengaku bahwa dia adalah "antek PKI" dan dialah sebenarnya yang menguburkan buku itu di sumur belakang rumahku. dengan mata yang berkaca-kaca, ibu berlari menuju rumah kepala desa dan mengungkapkan semua ini. hingga pada akhirmya kepala sang guru SD itu  menjadi bayarannya. semua telah berlalu, ayah dan ibu telah tenang di alam sana tapi semua kenangan ini tidak akan bisa terlupakan olehku.

Kreat...kreot...!


suara itu menghancurkan lamunanku. ku lihat jam menunjukan pukul 06.30 wib, hujan masih turun dengan keangkuhannya. aku berjalan ke arah kamar dan melihat dua sosok tubuh manusia masih tertidur pulas. perlahan aku mendekatkan tanganku kearah dahi anakku, ternyata masih terasa panas. sudah hampir 3 hari anakku sakit, tapi hanya pil bodrek yang bisa aku berikan. kocekku tidak akan mampu untuk membawa anakku ke puskesmas.
kembali aku berjalan menuju serambi rumahku untuk mengecek apakah warung bawah suda buka atau belum, berniat untuk kembali meminjam beras beberapa genggam.

kepalaku sedikit mendongak ke arah bawah, sepertinya lampu serambi dari warung itu telah dipadamkan. biasanya itu tanda kalau warung itu telah buka. 

Kreat...kreot..!


suara nyanyian rumahku kembali terdengar ketika aku hendak merapatkan pintu rumah, tapi kali ini suara itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya.meskipun hujan dengan tertatih-tatih aku menyusuri pinggiran bukit yang licin  untuk menuju ke arah warung yang berada di kaki bukit ini. jarak warung itu tidak jauh dari rumah hanya sekitar 500 meter.

" mau minjam lagi pak", suara itu bagai tamparan yang melayang ke mukaku ketika ku hendak melangkahkan kaki masuk ke warung.

dengan gugup aku menjawab "i..i..iya bu, hanya dua genggam beras. besok setelah hujan tidak turun lagi dan aku kembali melaut, pasti aku akan membayar semua hutangku".


"liat dulu perahumu itu, jangan-jangan sudah lapuk di guyur hujan terus"


"iya bu, setelah ini saya mau cek perahu"  sambil menerima dua genggam beras dari tangan ibu penjaga warung yang berbadan gempal ini. 

tiba-tiba suara gemuruh terdengar jelas dari arah rumahku diatas bukit itu. kali ini aku yakin bukan nyanyian rumahku lagi. sepertinya ini nyanyian dari semua rumah yang berada di atas bukit itu. sebuah bongkahan tanah besar menggulung habis rumah-rumah yang berada di atas bukit itu dan meratakan nya dengan tanah. semua rumah di sana bernyanyi bersama tanah yang menenggelamkan mereka. satu demi satu rumah hancur  berkeping-keping di telan tanah yang longsor dari atas bukit itu. dalam sekejap semua nyanyian rumah hening. dalam sekejap semua kenangan tenggelam, dalam sekejap istri dan anakku tertidur lelap untuk selamanya.

dan hari ini pertanyaan yang aku takuti berakhir.  "makan apa kita hari ini yah ?"