Oleh
Ahmad
Fikri Aiman (C-5)
A . Latar Belakang
Sejak
masa orde baru hingga lahirnya reformasi birokrasi, pemerintah tidak
henti-hentinya berkerja dan berfikir keras untuk mengehentikan “budaya korupsi”
di Indonesia. Dari mulai yang dulu hanya dilakukan oleh kalangan elit
pemerintahan, hingga pada saat ini korupsi telah menjadi hal biasa di setiap
elemen penyelengaaraan pemerintahan.
Sudah
wajar dan selayaknya korupsi di Indonesia kita katakan sebagai suatu budaya.
Menurut pendapat Weber (1958) budaya merupakan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat secara turun temurun serta memiliki hubungannya dengan pembangunan
ekonomi.[1]
Artinya
kalau kita kaitkan dengan pendapat weber, bahwa korupsi telah lahir sejak dulu
sehingga menjadi suatu kebiasaan dan budaya pada masa sekarang. Kalau kita
tarik kembali benang sejarah pada masa kerajaan dulu, memang benar bahwa
korupsi telah ada namun dengan wujud yang berbeda.
Dimasa
kerajaan-kerajaan besar dulu yang ada di Indonesia seperti majapahit,
seriwijaya dan mataram. Salah satu faktor yang menjadi penyebab kehancuran
kerajaan besar tersebut adalah karena adanya prilaku korupsi ditubuh internal
bangsawannya yang didasari dengan kebutuhan kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Kejadian
dimasa lalu itupun berdampak dan mengalir hingga pada saat ini. Korupsi masih
saja terjadi namun dengan wajah yang berbeda, bahkan lebih parah dari kejadian
di masa lalu. Rangkaian kejadian diatas bisa kita sebut dengan istilah Butterfly Effect bahwa “Kepakan sayap
kupu-kupu di Hutan belantara Brazil, akan menghasilkan badai tornado di texas
beberapa bulan kemudian”. Hal ini yang dikemukakan oleh Profesor Edward Norton
Lorenz yang berasal dari Massachusetts
Institute of Technology (1962). Apakah memang Butterfly Effect ini yang terjadi di bangsa kita pada saat ini ?.
Dimasa
orde baru, Presiden soeharto mempunyai tekad yang sangat kuat untuk memberantas
korupsi, yaitu dengan membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
langsung oleh jaksa agung. Namun bagai mengurai benang kusut, korupsi tetap
saja merajalela.
Kemudian
berlanjut kepada masa era refromasi yang diawali dengan pembentukan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) yang kemudian diteruskan
dengan berbagai macam ragam kebijakan lainnya untuk memberantas korupsi. Termasuk dengan
terbentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2003 dan Kebijakan
Remunerasi bagi aparatur negara demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan
bebas dari KKN, yang pada dasarnya semua ini merupakan bagian dari tujuan
Reformasi Birokrasi. Namun hasilnya berbanding terbalik dengan yang diharapkan
selama ini.
Remunerasi
merupakan suatu kebijakan yang dirancang untuk merombak kembali elemen-elemen
birokrasi secara signifikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur
dan meningkatkan kinerja aparatur serta menghapus budaya korupsi. sehingga
banyak elemen-elemen yang berakaitan dengan birokrasi harus dikaji kembali agar
sesuai dengan alur tujuan remunerasi yaitu seperti kelembagaan, manajemen,
sumber daya aparatur, ketatalaksanaan, pengawasan, pelayanan publik, dan
akuntabilitas. Semua ini merupakan satu sistem yang mempunyai harapan yang
besar demi terciptanya reformasi birokrasi yang sehat.
Namun
fakta yang terjadi saat ini, remunerasi belum mampu untuk menurunkan angka
korupsi di bangsa kita. sehingga sama sekali tidak ada perubahan yang
signifikan antara masa orde baru dengan masa reformasi. Bahkan di masa sekarang korupsi semakin marak
dan menjamur disetiap unsur pelaksana pemerintahan dan lebih kejam dari masa
orde baru.
Menurut
mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Dr
Rizal Ramli menyatakan bahwa “KKN pada saat ini justru lebih kejam dibandingkan
tingkat korupsi yang terjadi pada zaman Orde Baru.Pada zaman Orde Baru saja,
indeks KKN mencapai 30 %. Sementara pada masa reformasi sekarang ini melonjak
tajam hingga menyentuh pada persentase 45 %”.[2]
Argumen
Dr. Rizal Ramli ini dapat kita buktikan dengan melihat hasil penilitian yang
dilakukan oleh Transparency International (TI) Tahun 2012 tentang Peringkat Negara Terkorup di dunia. Bahwa
indonesia menepati peringkat 118 bersama dua negara lainnya yaitu madagaskar
dan ekuador dalam hal transparansi. Perhatikan tabel berikut.
PERINGKAT
|
NEGARA
|
SKOR
|
94
|
SENEGAL
|
36
|
102
|
TANZANIA
|
35
|
113
|
GETAMALA
|
33
|
113
|
TIMOR
LESTE
|
33
|
118
|
INDONESIA
|
32
|
118
|
MADAGASKAR
|
32
|
118
|
EKUADOR
|
32
|
123
|
SIERRA
LEONE
|
31
|
128
|
TOGO
|
21
|
130
|
PANTAI
GADING
|
15
|
Memang
pada skala besar peringkat korupsi yang ada diIndonesia ini tidak hanya
disebabkan oleh kebijakan remunerasi. Namun dari beberapa provinsi dan lembaga
negara yang telah melakukan remunerasi masih saja ada yang terjerat kasus
korupsi dan sangat mencuri perhatian dari masyarakat.
Salah
satu contohnya kasus korupsi gayus tambunan seorang staf golongan III/a
kementerian keuangan yang melakukan tindak pidana korupsi senilai 3 Miliar rupiah. Padahal kita ketahui bersama kalau
kementerian keuangan merupakan kementerian pertama yang melaksanakan kebijakan
remunerasi. Kemudian POLRI yang juga telah melaksanakan kebijakan remunerasi,
namun juga terjerat tindak pidana korupsi pada kasus simulator SIM.
Jadi terlihat jelas, sesuai dengan fakta yang
ada bahwa remunerasi tidak berperan besar dalam menanggulangi budaya korupsi
yang ada di Indonesia. bahkan ada pemikiran bahwa remunerasi merupakan benih perangsang
tericiptanya reproduksi korupsi yang semakin berkembang biak dan peralahan
menjadi bumerang untuk pemerintahan sendiri.
B.
Analisis
Remunerasi merupakan bagian terkecil dari Reformasi
Birokrasi. reformasi birokrasi memang tidak semudah mebalikkan telapak tangan.
Banyak elemen-elemen yang harus di tata ulang, karena birokrasi tidak mungkin
bisa mereformasi sendiri, butuh adanya unsur pelaksana (aparatur) yang terampil
dalam memegang kendali penuh reformasi birokrasi yang sesuai dengan alur grand design dan road
map.
Paradigma
masyarakat saat ini, menganggap birokrasi adalah hal yang paling buruk tetapi
sangat dibutuhkan. Karena birokrasi sangat dekat dengan masyarakat, yaitu dari
mulai lahir hingga wafat masyarakat selalu terikat dengan yang namanya birokrasi.
sehingga dibutuhkannya suatu reformasi birokrasi yang memiliki hubungan erat
dengan pelayanan kepada masyarakat, salah satunya adalah mereformasi birokrasi
aparatur.
Mereformasi birokrasi aparatur memang tidak semudah
menggosok lampu aladin dan juga tidak sesulit merancang ilmu roket, namun perlu
adanya pemahaman yang mendalam tentang faktor apa yang sangat berpengaruh
terhadap aparatur dalam meningkatkan kinerjanya dan menghilangkan budaya
korupsi.
Negara kita saat ini ingin meniru pola reformasi
birokrasi aparatur yang dilakukan oleh Amerika Serikat yaitu dengan pola Common sense government yang lebih
terfokus kepada Works better costs less.
Sehingga pemerintah kita lebih tertarik menggunakan kebijakan remunerasi dalam
mereformasi birokrasi aparatur.
Kebijakan
remunerasi yang diterapkan oleh pemerintah kita dalam rangka mereformasi
birokrasi aparatur ternyata lebih terfokus kepada penataan ulang
gaji/kompensasi untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Artinya pemerintah
menganggap bahwa kompensasi atau kesejahteraan pegawai memiliki hubungan yang
erat dalam peningkatan kinerja dan mengurangi angka korupsi di ranah
pemerintahan.
Namun
hal ini di bantah oleh Herzberg didalam teori motivasi Hygiene/Higienis 1950, “Bahwa kepuasan itu selalu dihubungkan
dengan isi jenis pekerjaan (Job content)
dan ketidakpuasan bekerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut
dengan aspek-aspek di sekitar yang berhubungan dengan pekerjaan (Job context)”.[4]
Didalam
teori motivasi Herzberg ini menganggap motivasi yang sesungguhnya adalah
kepuasan bekerja, artinya bukan kompensasi yang dijadikan motivasi utama
aparatur dalam berkerja. sehingga dapat kita simpulkan bahwa teori ini secara
tidak langsung mematahkan anggapan kita selama ini yang berfikir bahwa
peningkatan kinerja pegawai hanya dapat diatasi dengan pemberian upah atau gaji
yang tinggi serta insentif yang besar.
Secara
tidak langsung ketika pemerintah menetapkan remunerasi sebagai salah satu tolak
ukur peningkatan kinerja aparatur. maka pemerintahlah yang sebenarnya membuka
jalan aparatur untuk melakukan tindak pidana korupsi. karena pada dasarnya, kebutuhan
seorang manusia dengan semakin bertambahnya ruang dan waktu, maka kebutuhannya
semakin tidak terbatas. Namun alat pemuas kebutuhan tersebut semakin terbatas.
Salah
satu contohnya pada sistem remunerasi ini. ketika seorang aparatur dihadapkan dengan semakin bertambahnya
kedudukan pangkat, golongan serta jabatannya. maka semakin meningkat pula
kebutuhan hidupnya. Namun uang atau gaji seorang aparatur tersebut semakin
terbatas karena tidak mampuh memenuhi kebutuhan gaya hidup karir nya yang
semakin bertambah dan tidak terbatas. Inilah yang menjadikan salah satu faktor
pemicu terjadinya korupsi dikalangan aparatur karena orientasi kerjanya selalu
mengacu kepada uang atau gaji dan menjadikan uang atau gaji sebagai alat
pemuasnya.
Dengan
orientasi kinerja aparatur yang diarahkan kepada uang atau gaji pada sistem
remunerasi ini, berdampak kepada munculnya dua kelompok aparatur dalam berkerja
yang juga menjadi faktor pemicu korupsi pada sistem remunerasi ini, yaitu :
1. Kelompok
yang lebih mementingkan pangkat dan jabatan (kekuasaan) dalam berkerja.
2. Kelompok
yang lebih mementingkan materil (uang) dibandingkan pangkat, jabatan dan
kinerja.
Artinya dari dua kelompok tersebut,
menyebabkan tidak akan adanya peningkatan kinerja secara signifikan dari sistem
remunerasi dan remunerasi merupakan benih terjadinya reproduksi korupsi yang
semakin merajalela. sehingga sistem remunerasi yang telah banyak memakan beban
fiskal negara ini harus dikaji kembali sesuai dengan tipe dan karakteristik
budaya kerja aparatur pemerintahan.
C.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis diatas, bahwa
Indonesia belum layak untuk meniru pola reformasi birokrasi amerika serikat
yaitu Common sense government yang
lebih terfokus kepada Works better costs
less. Karena tipe aparatur bangsa kita pada saat ini motivasinya masih
berorientasi kepada uang dan gaji, sehingga pola reformasi yang diterapkan di
Amerika Serikat belum pantas dengan karakteristik budaya aparatur pemerintah.
Menurut Untung Subagio “Seharusnya indonesia lebih
menggunakan pola reformasi birokrasi dengan pola Good Public Governance yang lebih terfokus kepada World Class Government”[5].
Agar tercipta World
Class Government tersebut maka
dengan memperhatikan unsur-unsur sebagai berikut :
1.
Efficient
2.
Effective
3.
Transparance
4.
Accountable
5.
Clean
6.
Responsible
7.
Responsive
Sehingga
dalam melaksanakan kebijakan remunerasi, tidak lagi dapat dipengaruhi oleh
politik dan budaya yang sangat mendominan, yaitu dengan cara menggunakan
pendekatan In the box approach atau
pendekatan-pendekatan internal yang dilakukan kepada aparatur pelaksana
pemerintah dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
1. keberhasilan
2. penghargaan
3. pekerjaannya
sendiri
4. peningkatan
kinerja
Dengan
memperhatikan faktor-faktor diatas maka akan mampu mengubah pola pengembangan
sumber daya aparatur yang lebih fleksibel dalam menerima gagasan-gagasan baru.
serta dapat dijadikan bahan masukan untuk beberapa reformasi birokrasi aparatur
secara fundamental terhadap praktik dan kebijakan yang diterapkan.
[1] Teori
Weber dalam buku Anwar Prabu, Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama:Bandung,
2012. Halaman 6
[2]http://
Korupsi Zaman Reformasi Lebih Dahsyat.html. 14 Maret 2013
[4] Teori
herzberg dalam buku Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, PT Rajagrafindo Persada
:Jakarta. Halaman 231
[5] Untung
Subagio, dalam perkuliahan reformasi birokrasi di IPDN, Semester 7, Tahun
akademik 2012-2013.